Judul Buku : I Feel Bad About My Neck ( Leher : Musuh #1
Para Wanita)
Penulis : Nora Ephron
Penerjemah : Soemarni
Penyunting : Pray
ISBN : 978-979-3972-26-8
Penerbit : Dastan Books
Genre : Non fiksi, entertainment, psikologi wanita
Harga : Rp 39.900
Sinopsis :
Apa yang bisa kita lakukan pada leher kita? Kita bisa mewarnai
rambut, mengencangkan kulit wajah, menambah implan, atau melakukan sedot lemak.
Tapi leher? Leher wanita tak bisa bohong. Tidak ada yang bisa kita lakukan pada
leher kita.
Bagaimana dengan tas? Tahukah kau bahwa ada jenis tas yang
membuat kita tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia kita? Dan coba tengok
tasmu. Apakah tasmu kini telah berubah menjadi kuburan barang-barang bekas
pakai – lipstik, tanpa tutup, bungkus tisu dan permen, sisir yang sudah lama
kau anggap hilang, kotak bedak yang isinya tinggal separo? Lalu apa yang harus
kau lakukan?
I Feel Bad About My
Neck
Dengan cerdas dan jenaka, Nora Ephron menuturkan suka – duka
menjadi wanita. Bukunya ini telah dibaca oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Menjadi “bacaan wajib” para wanita yang tidak ingin menyesali hidup mereka,
walau tetap harus memiliki leher...
***
“Aku iri pada semua
wanita Asia – maksudku, pernahkah kau melihat ada wanita Asia yang rambutnya
terlihat jelek?” (hlm. 61)
Saya
mendapat buku I Feel Bad About My Neck dari Ruwi Meita, penulis Misteri Patung
Garam, yang sebenernya kalo dipikir-pikir ini buku pertama yang saya dapet bukan
karena beli atau karena menang kuis, well,
semacam pemberian seorang teman, makasih loh, Mbak Ruwi yang menyertakan buku
ini ke dalam bungkusan Misteri Patung Garam. So far, saya suka sama kedua buku tersebut, ya mungkin lain
kesempatan Mbak Ruwi bisa kasih lebih banyak buku. Hn, memalukan.
Awal
liat buku ini yang terpikirkan cuma “Ini buku apasih? Pasti semacam curhatan
penulis”, dan memang benar, bukan tentang leher-leher doang kok, I Feel Bad About
My Neck adalah salah satu dari buku ini yang sekaligus menjadi judul buku, isi keseluruhannya
adalah tentang menjadi wanita, repotnya, bahagianya, dari usia belia sampai
tua, dari perawatan, makanan, apartemen, kehilangan seorang sahabat, membaca
buku-buku dan tenggelam didalamnya, berharap pada tokoh-tokoh fiksi sampai magang
di Gedung Putih pada masa John. F Kennedy. Wow! Gaya kepenulisannya menarik bahkan
saya yang awalnya berpikir akan “biasa saja” ke buku ini justru berbalik malah
menyukainya, menikmati setiap lembarnya, seperti membaca pengalaman hidup orang
lain di blognya. Mungkin didukung juga profesi Nora yang sebagai jurnalis,
menjadikan buku ini bukan hanya cocok bagi gadis kutu buku berkacamata tebal
yang nggak tau fashion sama sekali sampai gadis yang sekali setiap minggunya
menghabiskan berjam-jam (dan berlembar-lembar uang) di salon.
“Selalu sulit untuk
mengingat cinta – tahun-tahun berlalu dan kau bertanya pada dirimu sendiri, “Apa
aku benar-benar jatuh cinta, atau hanya berangan-angan?”” (hlm. 153)
Jangan
mengira isinya hanya cerita seputar wanita yang ditulis dengan jenaka, tetapi
ada pengetahuan baru yang saya dapat disini, misalnya Mouse Potato. Mouse potato adalah
orang yang dalam kesehariannya menghabiskan sebagian besar waktunya bersama
komputer, seperti sudah terikat satu sama lain. Setelah browsing saya juga nemu
istilah yang hampir sama, yaitu CouchPotato,
bedanya yang Couch Potato terikat
dengan televisi, ada juga halaman 106 tentang cerita yang juga pernah saya baca tentang seseorang yang mengeluh karena merasa
rumahnya terlalu sempit untuk ditinggali keluarganya, lalu ada saran dari Abu Nawas
(versi buku ini Rabi) untuk memasukan domba, sapi dan kuda berturut-turut, yang
akhirnya tambah sesak, lalu dikeluarkan lagi, justru lega.
Mungkin
jika suatu saat nanti saya membuat buku semacam ini akan saya beri judul “I Feel
Bad About My Life”, dengan judul-judul bab seperti “Aku berharap ada yang mau
mengepang rambutku”, “Pentingkah menikah?”, “Aku benci semua orang”, “Aku
bahagia”, “Mengapa hal-hal ini terjadi padaku”, “Aku ingin hidup muda
selamanya”, “Aku (tidak) berharap jadi dia”, “Aku pelit dalam hal meminjamkan
pada orang lain”, “Sebuah jawaban dan menjadi yang terakhir”, “Pilihan
memilihmu” dan lain-lainnya, alih-alih mendapat pembaca yang banyak, malah
hujatan. Iya, kan plagiat, nggak kreatif mah, tragis, setragis rencana
judulnya. Imajinasi yang luar biasa! Skip.
“Aku heran kenapa ada orang yang menulis
cerita fiksi, padahal kejadian di dunia nyata begitu menakjubkan. Semuanya
palsu.” (hlm. 178)
Dan
sang penulis sendiri, Nora Ephron kini sudah tiada, meninggal pada usia 71
tahun di New York, kota kesayangannya tahun 2012 lalu. Memang sih pas akhir
buku ini kayanya beliau ini lagi ingin lepas dari hiruk pikuk kehidupan manusia,
bicara tentang usia dan hal-hal tentang masa tua. Nora juga menulis bahwa ia
bahagia di umur 60 tahun, nggak ingin melewati 61, 62, 63 dan 64 saat dia
menulis buku ini. Sedih? Nggak, ini masih Nora Ephron yang jenaka, optimis,
periang dan aktif. Manusia memang akan mati, namun karyanya abadi. Dan, saya harap
saya bisa seaktif dan se-produktif beliau.
“Setiap menit yang aku
habiskan dengan tidak membaca buku tersebut, saat berpura-pura merasa senang
dalam kehidupan sehari-hari, adalah sebuah kesengsaraan.” (hlm. 202)
Akhirnya,
saya rasa buku ini terlalu menarik untuk disimpan sendiri, buku ini seperti lambang kebahagiaan dan wanita muda. Mungkin suatu saat
saya juga akan memberi buku ini ke seorang teman atau saudara, siapapun,
seperti The Gourmet Cookbook milik ibu Nora kepada Nora, lalu Nora memberikan
buku tersebut pada teman-temannya untuk hadiah pernikahan. Seperti buku ini
dari Mbak Ruwi ke saya, lalu entah ke siapa. Yang mau pinjem juga boleh. Monggo.
Write a comment
Posting Komentar
Halo, terima kasih sudah berkunjung!^^ Mohon klik 'Notify Me/Beri Tahu Saya' utk mengetahui balasan komentar via email.